Suku Makassar adalah suku terbesar dan terkuat di
antara Suku Bugis, Suku Mandar, dan Suku Toraja yang tinggal di Sulawesi
Selatan. Orang-orang dari Suku Makassar biasa dipanggil "daeng".
Keberadaan orang Makassar dapat ditemukan di Kota Makassar, Kabupaten
Gowa, Takalar, Je`neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, Pangkep,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi
Tenggara. Dialek Suku Makassar berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun
Bahasa Makassar. Jumlah populasi Suku Makassar lebih kurang dua juta
jiwa.
Ciri khas orang Makassar adalah berani,
ulet, pantang menyerah, terbuka, spontan, suka merantau, setia kawan,
demokratis dalam memerintah, dan jaya di laut. Sebagian besar orang
Makassar bekerja sebagai pelaut. Namun, setelah mengalami perkembangan
masyarakat dan budaya. Beberapa orang di Makassar banyak yang bekerja
sebagai petani, nelayan, pengusaha, pedagang, guru, dan berbagai bidang
di sektor pemerintahan dan sektor swasta. Sistem kekerabatan dalam Suku
Makassar adalah bilateral, yaitu garis keturunan ditarik dari ayah dan
ibu. Dalam kebudayaan Suku Makassar, dikenal adanya sistem strata
sosial, yaitu bangsawan (karaeng), rakyat jelata (tumaradeka), dan abdi
(ata). Wanita Makassar tidak boleh menikah dengan pria dari kasta yang
lebih rendah, khususnya wanita keturunan bangsawan. Perkawinan terbaik
adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dengan derajat yang
sama. Namun saat ini, prinsip kesepadanan ini sudah mulai bergeser.
Dari
segi bahasa, Bahasa Makassar sudah banyak berubah karena terpengaruh
bahasa-bahasa lain, seperti Bahasa Bugis dan Bahasa Melayu. Penutur
Bahasa Makassar yang asli dapat ditemukan di daerah Gowa bagian Selatan,
tepatnya di kaki Gunung Lompobattang. Di desa Lompobattang ini,
keaslian Bahasa Makassar masih terjamin karena belum terkontaminasi
perkembangan Bahasa modern maupun bahasa-bahasa suku yang lain. Selain
itu, penutur Bahasa Makassar murni juga bisa ditemukan di daerah Gowa
(Sungguminasa, Lembang Bu`ne, Malino dan Malakaji), Takalar, Jeneponto
(Bontosunggu, Tolo` dan Rumbia), Bantaeng (Dammpang), dan Bulukumba
(Tanete).
Dalam hal kepercayaan, masyarakat Suku
Makassar pada zaman dahulu menganut kepercayaan animisme, yaitu Turei
A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Makassar percaya kepada dewa yang
disebut Dewata Seuwae (dewa yang tunggal) atau Turei A`rana (kehendak
yang tinggi). Orang Makassar purba percaya adanya dewa yang bertakhta di
tempat-tempat tertentu, seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang
berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama
Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan
Enyi’li’timo’, kemudian melahirkan Patotoe. Kemudian, Dewa Patotoe kawin
dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru. Batara Guru dipercaya oleh
sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai Dewa Penjelajah, yang telah
menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya.
Kira-kira satu abad sM, Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan
membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta
Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Setelah
itu, masuklah agama Islam ke dalam komunitas masyarakat Makassar.
Karena itu, mayoritas orang Makassar memeluk agama Islam. Sejak mereka
memeluk Islam, segala bentuk kepercayaan agama purba mereka pun
ditinggalkan. Agama Islam telah hadir di kalangan masyarakat orang
Makassar sejak berabad-abad yang lalu. Mereka adalah penganut Islam yang
kuat. Agama Islam menjadi agama rakyat bagi Suku Makassar sehingga
beberapa tradisi adat, budaya, dan kehidupan sehari-hari Suku Makassar
banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya yang mengandung unsur islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar